JAKARTA - Beberapa rambutnya memutih serta sebagian kerutan menghiasi berwajah.
Garis urat samar tampak di kulit lengannya yang hitam legam dengan berbalut baju pendek abu-abu lusuh.
Raut berwajah datar melihat dua rekannya yang asik bermain karambol di teras rumah tua, Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (10/11/2015) petang.
" Lagi masukin biji yang mana? " bertanya pria itu. Serta seseorang pemain karambol cuma menjawab, " Biji Raja. "
Pria itu yaitu Andi (65), seseorang pedagang bakso berlangganan keluarga presiden ke-2 RI, Soeharto yang berjualan di Jalan Cendana atau lebih di kenal dengan 'Bakso Cendana'.
Ia yaitu hanya satu 'wong cilik' yang diizinkan berdagang oleh keluarga Presiden Soeharto di 'jalan sakral', Jalan Cendana mulai sejak 1965.
Ia duduk enjoy di teras rumah tua melihat permainan karambol ke-2 rekannya karena belum ada orang lagi yang beli baksonya.
Sore itu, gerobak bakso bertuliskan 'Bakso Cendana' punya Andi masih tetap terisi tiga per empat bahan seperti mie, bihun serta bakso.
Dua meja serta kursi panjang di belakang gerobak cuma terisi dua orang konsumen yang tengah nikmati baksonya.
Terkecuali gerobak bakso, di halaman rumah tua itu juga ada gerobak nasi goreng serta etalase pulsa serta warung rokok dengan gerobak.
Yang memiliki dagangan yang lain itu adalah kerabat Andi dari Kuningan, Jawa Barat, yang turut berhimpun berjualan di Jalan Cendana tiga th. paling akhir.
Juga dua kerabatnya itu belum jua kehadiran konsumen sepanjang seputar dua jam Tribun ada ditempat itu.
Tak tahu kebetulan atau tak, dalam rentang saat itu cuma seseorang yang beli minuman dari warung rokok.
Sesaat, sang pedagang pulsa menyibukkan diri dengan mengotak-atik telephone genggamnya.
Umumnya saya jualan di trotoar sana dapat hingga lebih 100 mangkuk. Saat ini dapat laris 50 mangkuk saja bersukur. Bila sekarang-sekarang sepi, yah disyukuri saja, " ucapnya memperkuat diri.
Tetapi, panorama itu bukanlah kali pertama buat Andi.
Ia serta dua kerabatnya sesama pedagang sering sepi konsumen mulai sejak geser berjualan ke halaman rumah tua itu mulai sejak lima bln. lantas.
Pada awal mulanya, Andi jual baksonya di trotoar ujung jalan, tepatnya di pertigaan Jalan Cendana serta Jalan Yusuf Adiwinata.
Tetapi, bersamaan perubahan pemerintahan serta lurah setempat, Andi 'dipaksa' geser dari trotoar jalan itu untuk ketertiban serta kenyaman lingkungan.
" Semula saya dagang di trotoar pertigaan depan jalan. Namun, sesudah lurah ditukar, saya diberi surat dari kelurahan dilarang dagang lagi serta disuruh mencari tempat lain. Itu sebagian bln. lantas, belum hingga satu tahun, " katanya.
Andi mengakui pernah kelimpungan memperoleh ultimaltum 'penertiban' itu.
Lalu, ia menjumpai serta menyampaikan kegundahannya itu pada putra ke lima mendiang Presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra atau karib disapa Tommy Soeharto.
Tommy datang bak pahlawan buat Andi.
Karena, Tommy mengizinkannya untuk tempati rumah dekat tempat tinggal Soeharto juga sebagai rumah sekalian tempat menjual bakso.
Rumah yang saat ini jadi tempatnya berteduh sekalian tempat berjualan bakso adalah rumah salah seseorang pegawai Tommy yang lama tidak ditempati.
" Semula rumah ini yang tempati pegawainya Mas Tomy. Saat ini yang gunakan kita-kita yang pada dagang, " katanya.
Andi mengakui mulai merantau dari kampung halaman, Kuningan, Jawa Barat serta berjualan bakso di Jalan Cendana mulai sejak 1965 atau waktu masih tetap berumur 15 th..
Waktu itu, ia jual baksonya Rp5 per jumlah.
Ia mengadu nasib ke ibukota, terkhusus di 'daerah terlarang' Jalan Cendana waktu itu lantaran untuk menolong perekonomian keluarga di kampung halaman.
Sekarang ini, ia sudah dikaruniai enam anak serta sembilan cucu.
Bersamaan pergantian zaman serta kenaikan harga pokok, saat ini Andi jual baksonya dengan harga Rp16 ribu per jumlah.
Ia kembali kenang masa-masa kejayaan waktu masih tetap berjualan bakso di ujung Jalan Cendana.
" Saya dagang mulai sejak Pak Harto belum jadi presiden, saat Pak Harto masih tetap Mayjen. Saat itu yang dagang hanya saya. Semula, Jalan Cendana ini sepi, sejuk serta sangatlah banyak pohon-pohon, " kenangnya.
" Serta mulai sejak Pak Harto jadi presiden, jalan ini telah tidak dapat asal-asalan dilalui, dijaga ketat sama TNI. Untung saja saya dibolehkan dagang sama keluarga Pak Harto disini, " sambungnya. Sore itu, belasan mobil serta motor ramai melintas Jalan Cendana.
Menurut dia, terkecuali warga penghuni komplek, ke enam putra-putri Soeharto sampai jenderal TNI yang tengah bertamu di tempat tinggal Soeharto waktu itu yaitu pelanggan baksonya.
Putra-putri Soeharto telah beli serta pesan bakso dagangan Andi mulai sejak masih tetap kanak-kanak sampai dewasa. Juga mereka tetap masih pesan meski sang bapak berhenti dari tampuk kekuasaan juga sebagai presiden pada 21 Mei 1998.
" Pendapatan saya turun mulai sejak Pak Harto wafat (pada 27 Januari 2008). Umumnya yang beli banyak. Lantaran beberapa orang yang bertamu ke rumah Pak Harto, seperti perwira TNI, sopirnya atau wartawan sukai nongkrong serta beli bakso ditempat saya, " kenangnya.
Bahkan juga, bakso dagangan Andi sering diborong untuk acara spesifik di tempat tinggal Soeharto dengan harga lebih mahal serta sekian kali dipesan oleh pihak hotel bintang lima.
" Kemarin-kemarin bila ada acara dirumah Pak Harto, orang dari Pak Tomy sukai pesan 20 mangkuk. Harga nya semangkok Rp20 ribu, mungkin saja bagi-bagi rejeki ke saya, " selorohnya seraya tertawa enteng.
Walau lama berjualan bakso di Jalan Cendana, Andi baru sekali seumur hidupnya bersua serta bersalaman dengan Presiden Soeharto di tempat tinggalnya, yaitu pada Hari Raya Idul Fitri 1980.
" Sekian hari saat sebelum Hari Lebaran itu saya disuruh sama pegawainya untuk janganlah pulang kampung dahulu. Lantaran Ayah mengundang warga-warga ke acara Lebaran di tempat tinggalnya itu, " kenang Andi seraya menunjuk tempat tinggal Soeharto yang terpisah empat rumah darinya.
Waktu itu, saya hanya salaman saja sebentar, tidak pernah mengobrol. Kemudian makan berbarengan, " sambungnya.
Pak Harto, pahlawan di hati saya
Andi terdiam sebagian waktu saat di tanya gagasannya perihal layak atau tidaknya bekas Presiden Soeharto diberikan gelar pahlawan nasional oleh pemerintahan Jokowi-JK seperti ramai di beritakan sekarang ini.
Dengan terbata-bata, Andi menjawab, bahwa dianya tidak dapat berlaku mensupport atau menampik pemberian gelar pahlawan nasional pada Soeharto itu.
Yang pasti untuk Andi, Soeharto yaitu pahlawan di hatinya.
Karena, ia rasakan masa-masa 'kejayaan' cuma semasa kepemimpinan Soeharto.
" Yang pasti, saat zaman Pak Harto apa-apa murah serta dagangan dapat laris lebih 100 mangkuk satu hari. Saat ini apa-apa mahal, " ucapnya.
Garis urat samar tampak di kulit lengannya yang hitam legam dengan berbalut baju pendek abu-abu lusuh.
Raut berwajah datar melihat dua rekannya yang asik bermain karambol di teras rumah tua, Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (10/11/2015) petang.
" Lagi masukin biji yang mana? " bertanya pria itu. Serta seseorang pemain karambol cuma menjawab, " Biji Raja. "
Pria itu yaitu Andi (65), seseorang pedagang bakso berlangganan keluarga presiden ke-2 RI, Soeharto yang berjualan di Jalan Cendana atau lebih di kenal dengan 'Bakso Cendana'.
Ia yaitu hanya satu 'wong cilik' yang diizinkan berdagang oleh keluarga Presiden Soeharto di 'jalan sakral', Jalan Cendana mulai sejak 1965.
Ia duduk enjoy di teras rumah tua melihat permainan karambol ke-2 rekannya karena belum ada orang lagi yang beli baksonya.
Sore itu, gerobak bakso bertuliskan 'Bakso Cendana' punya Andi masih tetap terisi tiga per empat bahan seperti mie, bihun serta bakso.
Dua meja serta kursi panjang di belakang gerobak cuma terisi dua orang konsumen yang tengah nikmati baksonya.
Terkecuali gerobak bakso, di halaman rumah tua itu juga ada gerobak nasi goreng serta etalase pulsa serta warung rokok dengan gerobak.
Yang memiliki dagangan yang lain itu adalah kerabat Andi dari Kuningan, Jawa Barat, yang turut berhimpun berjualan di Jalan Cendana tiga th. paling akhir.
Juga dua kerabatnya itu belum jua kehadiran konsumen sepanjang seputar dua jam Tribun ada ditempat itu.
Tak tahu kebetulan atau tak, dalam rentang saat itu cuma seseorang yang beli minuman dari warung rokok.
Sesaat, sang pedagang pulsa menyibukkan diri dengan mengotak-atik telephone genggamnya.
Umumnya saya jualan di trotoar sana dapat hingga lebih 100 mangkuk. Saat ini dapat laris 50 mangkuk saja bersukur. Bila sekarang-sekarang sepi, yah disyukuri saja, " ucapnya memperkuat diri.
Tetapi, panorama itu bukanlah kali pertama buat Andi.
Ia serta dua kerabatnya sesama pedagang sering sepi konsumen mulai sejak geser berjualan ke halaman rumah tua itu mulai sejak lima bln. lantas.
Pada awal mulanya, Andi jual baksonya di trotoar ujung jalan, tepatnya di pertigaan Jalan Cendana serta Jalan Yusuf Adiwinata.
Tetapi, bersamaan perubahan pemerintahan serta lurah setempat, Andi 'dipaksa' geser dari trotoar jalan itu untuk ketertiban serta kenyaman lingkungan.
" Semula saya dagang di trotoar pertigaan depan jalan. Namun, sesudah lurah ditukar, saya diberi surat dari kelurahan dilarang dagang lagi serta disuruh mencari tempat lain. Itu sebagian bln. lantas, belum hingga satu tahun, " katanya.
Andi mengakui pernah kelimpungan memperoleh ultimaltum 'penertiban' itu.
Lalu, ia menjumpai serta menyampaikan kegundahannya itu pada putra ke lima mendiang Presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra atau karib disapa Tommy Soeharto.
Tommy datang bak pahlawan buat Andi.
Karena, Tommy mengizinkannya untuk tempati rumah dekat tempat tinggal Soeharto juga sebagai rumah sekalian tempat menjual bakso.
Rumah yang saat ini jadi tempatnya berteduh sekalian tempat berjualan bakso adalah rumah salah seseorang pegawai Tommy yang lama tidak ditempati.
" Semula rumah ini yang tempati pegawainya Mas Tomy. Saat ini yang gunakan kita-kita yang pada dagang, " katanya.
Andi mengakui mulai merantau dari kampung halaman, Kuningan, Jawa Barat serta berjualan bakso di Jalan Cendana mulai sejak 1965 atau waktu masih tetap berumur 15 th..
Waktu itu, ia jual baksonya Rp5 per jumlah.
Ia mengadu nasib ke ibukota, terkhusus di 'daerah terlarang' Jalan Cendana waktu itu lantaran untuk menolong perekonomian keluarga di kampung halaman.
Sekarang ini, ia sudah dikaruniai enam anak serta sembilan cucu.
Bersamaan pergantian zaman serta kenaikan harga pokok, saat ini Andi jual baksonya dengan harga Rp16 ribu per jumlah.
Ia kembali kenang masa-masa kejayaan waktu masih tetap berjualan bakso di ujung Jalan Cendana.
" Saya dagang mulai sejak Pak Harto belum jadi presiden, saat Pak Harto masih tetap Mayjen. Saat itu yang dagang hanya saya. Semula, Jalan Cendana ini sepi, sejuk serta sangatlah banyak pohon-pohon, " kenangnya.
" Serta mulai sejak Pak Harto jadi presiden, jalan ini telah tidak dapat asal-asalan dilalui, dijaga ketat sama TNI. Untung saja saya dibolehkan dagang sama keluarga Pak Harto disini, " sambungnya. Sore itu, belasan mobil serta motor ramai melintas Jalan Cendana.
Menurut dia, terkecuali warga penghuni komplek, ke enam putra-putri Soeharto sampai jenderal TNI yang tengah bertamu di tempat tinggal Soeharto waktu itu yaitu pelanggan baksonya.
Putra-putri Soeharto telah beli serta pesan bakso dagangan Andi mulai sejak masih tetap kanak-kanak sampai dewasa. Juga mereka tetap masih pesan meski sang bapak berhenti dari tampuk kekuasaan juga sebagai presiden pada 21 Mei 1998.
" Pendapatan saya turun mulai sejak Pak Harto wafat (pada 27 Januari 2008). Umumnya yang beli banyak. Lantaran beberapa orang yang bertamu ke rumah Pak Harto, seperti perwira TNI, sopirnya atau wartawan sukai nongkrong serta beli bakso ditempat saya, " kenangnya.
Bahkan juga, bakso dagangan Andi sering diborong untuk acara spesifik di tempat tinggal Soeharto dengan harga lebih mahal serta sekian kali dipesan oleh pihak hotel bintang lima.
" Kemarin-kemarin bila ada acara dirumah Pak Harto, orang dari Pak Tomy sukai pesan 20 mangkuk. Harga nya semangkok Rp20 ribu, mungkin saja bagi-bagi rejeki ke saya, " selorohnya seraya tertawa enteng.
Walau lama berjualan bakso di Jalan Cendana, Andi baru sekali seumur hidupnya bersua serta bersalaman dengan Presiden Soeharto di tempat tinggalnya, yaitu pada Hari Raya Idul Fitri 1980.
" Sekian hari saat sebelum Hari Lebaran itu saya disuruh sama pegawainya untuk janganlah pulang kampung dahulu. Lantaran Ayah mengundang warga-warga ke acara Lebaran di tempat tinggalnya itu, " kenang Andi seraya menunjuk tempat tinggal Soeharto yang terpisah empat rumah darinya.
Waktu itu, saya hanya salaman saja sebentar, tidak pernah mengobrol. Kemudian makan berbarengan, " sambungnya.
Pak Harto, pahlawan di hati saya
Andi terdiam sebagian waktu saat di tanya gagasannya perihal layak atau tidaknya bekas Presiden Soeharto diberikan gelar pahlawan nasional oleh pemerintahan Jokowi-JK seperti ramai di beritakan sekarang ini.
Dengan terbata-bata, Andi menjawab, bahwa dianya tidak dapat berlaku mensupport atau menampik pemberian gelar pahlawan nasional pada Soeharto itu.
Yang pasti untuk Andi, Soeharto yaitu pahlawan di hatinya.
Karena, ia rasakan masa-masa 'kejayaan' cuma semasa kepemimpinan Soeharto.
" Yang pasti, saat zaman Pak Harto apa-apa murah serta dagangan dapat laris lebih 100 mangkuk satu hari. Saat ini apa-apa mahal, " ucapnya.
0 Response to "Tukang Bakso Langganan Cendana: Jaya di Masa Pak Harto, Melarat di Zaman Jokowi"
Posting Komentar